JAKARTA – Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Letnan Jenderal TNI Purn Mashudi merupakan komandan Pramuka paling lama memimpin pada era kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto. Keduanya merupakan sosok yang memiliki segudang pengalaman dalam memajukan Pramuka saat itu hingga kini.
Lantas bagaimana kiprah Sri Sultan HB IX dan Letjen Mashudi yang pernah mendapatkan penghargaan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scount Movement dalam memajukan Pramuka di Tanah Air? Ini rangkumannya.
Sri Sultan HB IX
Dengan berbagai kesibukannya sebagai Sultan Yogyakarta dan beberapa kali menjabat sebagai menteri pada era kepemimpinan Presiden Soekarno sejak 1946 dan kemudian menjadi Wakil Presiden di era Presiden Soeharto periode 1973-1978, Sri Sultan HB IX tetap memosisikan diri pada jabatannya sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Dia menjalani masa bakti sebagai Ketua Kwarnas Pramuka selama empat periode dari 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974.
Sri Sultan-lah yang kemudian mengangkat nama Pramuka di Indonesia dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) No 12 tahun 1961 pada 5 April 1961. Pramuka kemudian dikenalkan secara luas pada 14 Agustus 1961 sehingga setiap 14 Agustus ditetapkan sebagai hari lahirnya Pramuka di Indonesia.
Sri Sultan saat itu juga dipuja karena memprakarsai perubahan Kepanduan menjadi Kepramukaan. Atas jasanya tersebut Sri Sultan IX dinobatkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia pada 1988. Pengukuhan sebagai Bapak Pramuka Indonesia kepada Sri Sultan berlangsung di Dili, Timor-Timur; saat Dili masih menjadi bagian NKRI.
Sebelum berkiprah di pemerintahan dan Pramuka, Sri Sultan disibukkan mengurusi Keraton Yogyakarta. Ketika mengenyam pendidikan di Universiteit Leiden, Belanda pada kurun 1930-an, dia dijuluki oleh mahasiswa Belanda, "Sultan Henkie". Pada 2 Oktober 1988 di usia ke 76 tahun, Sri Sultan menghembuskan napas terakhir di Washington, Amerika Serikat.
Letjen Mashudi
Letnan Jenderal TNI (Purn) H Mashudi merupakan mantan Gubernur Jawa Barat pada tahun 1960-1970-an. Beliau adalah sosok penting ketika cabang-cabang Pramuka menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Selama lima periode dari 1978-1993, dia dipercaya menjadi Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Pramuka.
Letjen Mashudi meneruskan tugas Sri Sultan HB IX sebagai Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka. Mashudi menjadi pemimpin Pramuka selama lima periode dan lebih lama dari Sri Sultan HB IX yang selama empat periode memimpin Kwarnas Pramuka.
Mashudi juga merupakan tokoh yang paling disegani di Jawa Barat, dan dalam kehidupan kesehariannya Mashudi dikenal dekat dan tidak canggung dengan anak-anak muda.
Keakrabannya dengan anak-anak dan pemuda yang menjadikan Mashudi begitu mencintai Pramuka.
Awalnya, Mashudi lebih dulu dipercaya menjadi Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Barat. Setelah itu, Mashudi diangkat menjadi Wakil Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka tingkat nasional.
Mashudi kemudian menjadi Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka selama lima periode pada 1978-1993. Almarhum mendapatkan posisi sebagai Ketua Kwarnas setelah melepas jabatan sebagai Ketua MPRS pada 1967-1972.
Dalam catatan buku 40 Tahun Gerakan Pramuka, Mashudi pernah berucap, Pramuka Indonesia dahulu yaitu Pandu Indonesia selalu mendahulukan para pahlawan Indonesia, seperti jiwa dan figur Pangeran Diponegoro ditanamkan dalam pandu-pandu Indonesia.
Dan sejak 1961 kita mencontohkan Panglima Besar Soedirman yang betul-betul mempunyai jiwa pandu Pramuka yang murni. Mashudi meminta, Pramuka untuk abad ke 21 jangan ikut-ikutan kepada demoratisasi yang liberal dan tetap berpegang teguh kepada filsafat Bangsa Indonesia yaitu Pancasila secara murni.
"Selama hampir 40 tahun kita berusaha meningkatkan sumber daya manusia agar kita dapat memiliki kader-kader bangsa di semua bidang, namun kekhilafan para pimpinan politik akhirnya bangsa ini kehilangan martabat," kata Mashudi.
Mashudi meninggal pada 22 Juni 2005 di Bandung, saat itu ayah dua anak ini hendak mengikuti proses pemilihan rektor UPI. (MSR)
(Sumber: ensiklopediapramuka dan buku 40 Tahun Gerakan Pramuka, Kwarnas Gerakan Pramuka, Jakarta 2001.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar